Jumat, 12 Agustus 2011




VALENTINE


Aku datang padamu, jeruji
Ada waktu yang detaknya bukan milikku
Ada nafas yang desahnya bukan dengusku
Ada pintu yang kuncinya tidak padaku

Aku datang padamu
Menghirup pahitnya jamuan kekuasaan.

14 Februari 1998




SETANGKAI KEMBANG SUBVERSIF

: Indonesia

Ku bawakan setangkai kembang subversif.
Bunga abadi yang tumbuh di pegunungan kesadaran

Ku petik dalam nestapa.
Setelah perjalanan panjang menaklukkan jurang ketakutan,
Serta merelakan kehilangan banyak perbekalan.
melewati penjagaan seribu bala tentara.
Digoda sejuta dosa.

Aku lelaki muda, kau perempuan tanpa usia
Cinta kita tumbuh karena banyak perkara.

Kubawakan setangkai kembang Subversif
Buah tangan seorang demonstran

Kebon Waru, April 1998




KUNYALAKAN SEBATANG SAJAK


Kunyalakan sebatang sajak
Setelah meracik sejumput perkara
Dan menaburinya dengan beragam rasa.
Lalu mempersatukannya dalam lintingan kata–kata.
Ku petik bunga api dari hati yang ditelikung sepi.
Menyalalah sajak,
Menyala kembali sepenggal kisah.

Sambil menikmati sensualitas karat pada batang batang besi jeruji.
Kuhisap batang sajak itu,
Ku nikmati asap yang mengalir menembus rongga–rongga kata,
Menabrak bulir – bulir perkara sambil menculik sari–sarinya
Menghantarkan rasa yang tragis pada lidahku.
Pahit namun penuh sensasi.

Bara kisah menyala di ujungnya
Kisah sendiri seorang pejalan kaki yang mengeja sejarah.
Inikah kegenitan seorang pengembara,
Yang menghabiskan hari dengan mengumbar kata,
Lantas kini menuai sejumlah dakwa.

Kebon Waru 1998



MENGURUNGKU BUKAN MENGURUNG APA-APA

Mungurungku bukan mengurung apa – apa,
Justru melepaskan ratusan jiwa muda yang selama ini terkungkung.
Mereka mulai tumpah ruah di jalanan.
Meninggalkan buku pelajaran
Menggantinya dengan poster tuntutan.
Sambil sesekali menghidupkan batu dalam lemparan.

Lihatlah, berapa sudah spanduk yang harus kau catat sebagai laporan,
Berapa selebaran yang harus dikoleksi untuk dijadikan barang bukti,
Berapa kaset habis untuk merekam omongan para demonstran.

Kalian tengah mendakwa langit yang menurunkan hujan
Memenjarakan hujan dengan sangkaan merusak tanaman.

Jika suaraku dianggap layak masuk dalam surat dakwaan,
Kau harus mendidik ribuan juru dakwa,
Menggelar beribu perkara
melantik beribu hakim.
Untuk mempersalahkan suara serupa yang makin marak di jalanan.


Persalahkan diriku,
jika menginginkan Indonesia yang lebih baik dianggap sebuah kejahatan.

Maret 1998




SUATU MALAM, CUMA AKU

Suatu malam, Cuma aku.
Mendengar rintih lamat-lamat semakin dekat.
Kemudian ada nyeri menyelusup,
ditusukkan oleh kecemasan,
ke jantungku.
Rintih itu menjadi rintihku
Memang rintihku.
Suatu malam, cuma aku.
Kehilangan kata-kata,
berhala yang sering menimangku.
Kepada Tuhan aku merasa malu.

April 1998



SENJA TELAH DATANG MEMINANGKU

Senja telah datang meminang ku.
Mengulurkan tangannya lewat jeruji
Merangkul kepala ku,
Lalu berbisik.
“Aku tak ingin mengirimimu kesedihan,
sebab gerimis ini terlalu manis untuk sebuah tangis
Basuhlah lukamu.
Jalanan sudah dipenuhi kembang perlawanan.
Peluru dan panser tak mampu lagi membungkam.“

Aku memeluk senja di antara jeruji.
Tubuhnya basah oleh gerimis.
Kami terus bercengkrama.
Sampai kelelawar menjemputnya pulang.

10 Mei 1998




“ KARENA SAATNYA SOEHARTO BERHENTI “

Karena saatnya suharto berhenti, puluhan orang hilang, menjadi misteri.
Karena saatnya suharto berhenti rakyat dicekik harga dan kematian.
Karena saatnya suharto berhenti, mahasiswa ditembaki di atas aspal
Karena saatnya suharto berhenti, gedung – gedung hangus di bakar
Karena saatnya suharto berhenti, orang mulai berbaris di jalanan
Karena saatnya suharto berhenti, aku berdiri di muka persidangan.

13 Mei 1998


KUPU-KUPU TERBANG DI ATAS DEMONSTRAN

Kutangkap sepasang kupu–kupu,
Dengan mataku,
Bercengkrama di atas ribuan kepala.
Dua hari setelah kematian yang menyakitkan, di jalanan.

Kutangkap sepasang peluru,
Dalam imajinasiku,
Bercengkrama di udara,
Lantas mengoyak tubuh muda tak bersenjata.
Amis darah di hitamnya aspal Jakarta.

Kutangkap sepasang mata,
Dengan dendamku.
Menebar tatap kekaguman,
Asap di moncong senapan.
Darah di hitamnya aspal.
Ibu mana lagi yang akan direnggut anaknya.

Ku tatap sepasang harapan,
Setelah kematian yang menyakitkan.
Terbang di atas kepala demonstran,
Bersama sepasang kupu kupu, bercengkrama hingga larut malam.

Bandung 14 Mei 1998.




KEPADA 20 MEI

Matahari ku
Matahari baru.
Entah hangat
Atau menyegat.
Mei hanya membukakan pintu.

Mei 1998

Tidak ada komentar:

Posting Komentar